JEMBER - Rencana PLN yang hanya memperbaiki alat-alat elektronik warga yang rusak akibat naiknya tegangan dinilai sebagai tindakan cuci tangan. Padahal, alat elektronik pelanggan itu rusak akibat kelalaian PLN dalam mengamankan aset produksi.
"Memperbaiki alat elektronik yang rusak itu hanya salah satu bentuk tanggung jawab untuk meredam persoalan. Padahal kasus ini sudah menjadi persoalan publik karena PLN lalai dalam menjaga asetnya sendiri," ujar Direktur YLAK Jember Abdil Furqan SH kepada Erje kemarin.
Sebagai perusahaan penyedia jasa untuk masyarakat luas, kata dia, PLN mestinya bisa mengamankan aset produksinya sehingga tidak merugikan pelanggan. Apalagi, pencurian plat copper LV Panel PLN terjadi dimana-mana. Dengan demikian, dampak naiknya tegangan listrik yang menyebabkan rusaknya alat elektronik warga, bisa terjadi di banyak tempat.
Dalam kasus ini, dia melihat, polisi bisa melakukan penyelidikan awal dugaan adanya tindak pidana kelalaian yang mengakibatkan celaka. Tindakan pidana itu diluar tindak pidana pencurian plat copper sendiri. "Pencurian plat copper itu kasus lain. Tapi kelalaian PLN itu juga ada celah pidana," terangnya.
Di dalam KUHP pasal 188, kata dia, diterangkan tentang kelalaian yang menyebabkan celaka. Intinya, barangsiapa karena kealpaan menyebabkan kebakaran, ledakan dan banjir, bisa diancam pidana kurungan paling lama 5 tahun. Di dalam UU No 8/1999 juga diatur tentang hak dan kewajiban pelaku usaha sebagai penyedia barang dan jasa.
Sebab itu, dia menambahkan, sejatinya pihak kepolisian bisa mulai melakukan penyelidikan awal tentang adanya dugaan kelalaian PLN dalam kasus naiknya tegangan listrik sehingga menyebabkan rusaknya alat elektronik warga. "Singkatnya PLN tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik sehingga pelanggan dirugikan," tukasnya.
Pasal 188 itu menurut dia bukanlah delik aduan sehingga polisi bisa mulai melakukan penyelidikan tanpa menunggu laporan pelanggan.
Menanggapi hal ini, Manajer PLN Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) Jember Bambang Setyo Hadi mengatakan, PLN tidak ada kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada pelanggan yang alat elektroniknya rusak. "Karena kerusakan itu bukan disebabkan PLN, melainkan oleh pencurian dimana PLN juga dirugikan. Berbeda kalau masalah ini berasal dari kesalahan PLN," katanya sore kemarin.
Alasannya, pencurian termasuk force major (musibah). Tentang tudingan PLN lalai dalam mengamankan aset produksinya, Bambang menyatakan, PLN tidak mungkin sanggup mengamankan LV Panel yang berjumlah ribuah buah dan tersebar di banyak tempat. "Coba kalau pakai logika, PLN barangnya hilang tapi diminta juga harus bertanggung jawab," tukasnya.
Sementara itu, anggota Komisi B (Bidang Ekonomi) DPRD Jember Rendra Wirawan mengatakan, sebelum bicara masalah ganti rugi, PLN harus memberikan penjelasan secara terbuka tentang penyebab naiknya tegangan listrik sehingga menyebabkan alat eletronik pelanggan rusak.
"Sebelum PLN harus membayar ganti rugi atau tidak, perlu dikaji dulu masalah ini disebabkan oleh apa," ujarnya.Karenanya, Rendra membuka diri bagi kedua belah pihak (PLN dan pelanggan) untuk bertemu dan mencari jalan keluar terbaik. "Yang penting harus ada klarifikasi dari PLN. Komisi B siap memfasilitasi pertemuan antara pelanggan dan PLN untuk mencari jalan keluar terbaik," paparnya. (Radar Jember)
Rabu, Februari 28, 2007
Demokrat Ulur Pengembalian TKI
JEMBER - Menjadi pendukung setia Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak menjamin anggota DPRD dari Partai Demokrat segera mengembalikan rapelan tunjangan komunikasi intensif (TKI). Padahal, perintah pengembalian TKI itu dikeluarkan langsung oleh presiden yang tokoh dan panutan Partai Demokrat.
Data sekretariat DPRD Jember menyebutkan, anggota dewan yang telah mencicil pengembalian rapelan adalah Haru Sumarsono (PDIP) sebesar Rp 20 juta dan Moch Asir (PDIP) sebesar Rp 20 juta. Lalu Abdul Ghafur (PAN), Rendra Wirawan (PAN) dan Achmad Dimyati (PAN), masing-masing Rp 30 juta. Dengan demikian, jumlah total rapelan TKI yang dikembalikan ke sekwan berjumlah Rp 130 juta.
Menurut Saptono Yusuf, anggota DPRD Jember dari Partai Demokrat, pihaknya menyikapi perintah pengembalian rapelan TKI yang terlanjur diterima itu dengan memanfaatkan kelonggaran yang diberikan pemerintah. "Jadi bukan kami tidak mau mengembalikan rapelan," ujarnya.
Dia mengatakan, presiden meminta rapelan itu supaya dikembalikan dengan memberi batas waktu, yakni paling lambat 31 Desember 2007. Maka dia mengartikan, rapelan itu harus sudah dikembalikan secara keseluruhan dengan batas waktu sebelum 31 Desember 2007.
Soal dikembalikan sekarang atau nanti, lanjut Saptono, hal itu hanya persoalan teknis. Dikembalikan sekarang atau nanti, rata-rata akan dilakukan dengan cara mencicil karena sudah terlanjur dipakai, bahkan ada yang telah habis.
Bahkan, dia menilai, sebagian anggota dewan yang telah mulai mencicil mengembalikan rapelan itu, bukan disebabkan oleh kesadaran akan perintah presiden. Melainkan akibat desakan parpol yang menjadi induknya atau takut ancaman PAW (pergantian antar waktu). "Toh intinya sama, semua harus dikembalikan," tandasnya.
Secara umum, Partai Demokrat Jatim telah mengumpulkan semua anggota DPRD dari Partai Demokrat se-Jatim. Dalam kesempatan itu ada kesepakatan, semua rapelan TKI tetap harus dikembalikan karena ada perintah dari presiden dan PP 37/2006 yang menjadi dasar hukumnya tengah direvisi. "Soal kapan mau mengembalikan, kembali pada kelonggaran tadi," tegasnya.
Secara pribadi dia lebih sepakat, dewan harus mengembalikan rapelan tanpa banyak gembar gembor. Ringkasnya, makin cepat dikembalikan makin baik. "Yang penting jangan latah beropini, ngomong keluar mau mengembalikan, ternyata tak segera mengembalikan. Sama saja," pungkasnya.
Langkah anggota dewan yang tak segera mengembalikan rapelan TKI ini, disorot oleh Ketua Sindikat Aksi Tolak (Sikat) PP 37/2006 Sudarsono. Dia menilai, banyak parpol dan anggota dewan yang hanya beretorika mengembalikan rapelan, tapi nyatanya hanya tak kunjung mengembalikan.
"Alasan menunggu juklak atau juknis pengembalian rapelan itu alasan yang mengada-ada dan dibuat-buat. Kalau ada yang mengulur-ulur waktu hingga Desember 2007 dengan alasan kelonggaran, berarti sama saja dengan parpol yang menolak mengembalikan rapelan," tandasnya.
Plt Sekretaris DPRD Jember Bambang Hariono mengungkapkan, anggota dewan yang mengembalikan rapelan bertambah satu, yakni Moch Asir yang mencicil Rp 20 juta. "Sudah diserahkan pada sekwan pekan lalu, tapi sifatnya masih tetap titipan, bukan pengembalian," ungkapnya. (Radar Jember)
Data sekretariat DPRD Jember menyebutkan, anggota dewan yang telah mencicil pengembalian rapelan adalah Haru Sumarsono (PDIP) sebesar Rp 20 juta dan Moch Asir (PDIP) sebesar Rp 20 juta. Lalu Abdul Ghafur (PAN), Rendra Wirawan (PAN) dan Achmad Dimyati (PAN), masing-masing Rp 30 juta. Dengan demikian, jumlah total rapelan TKI yang dikembalikan ke sekwan berjumlah Rp 130 juta.
Menurut Saptono Yusuf, anggota DPRD Jember dari Partai Demokrat, pihaknya menyikapi perintah pengembalian rapelan TKI yang terlanjur diterima itu dengan memanfaatkan kelonggaran yang diberikan pemerintah. "Jadi bukan kami tidak mau mengembalikan rapelan," ujarnya.
Dia mengatakan, presiden meminta rapelan itu supaya dikembalikan dengan memberi batas waktu, yakni paling lambat 31 Desember 2007. Maka dia mengartikan, rapelan itu harus sudah dikembalikan secara keseluruhan dengan batas waktu sebelum 31 Desember 2007.
Soal dikembalikan sekarang atau nanti, lanjut Saptono, hal itu hanya persoalan teknis. Dikembalikan sekarang atau nanti, rata-rata akan dilakukan dengan cara mencicil karena sudah terlanjur dipakai, bahkan ada yang telah habis.
Bahkan, dia menilai, sebagian anggota dewan yang telah mulai mencicil mengembalikan rapelan itu, bukan disebabkan oleh kesadaran akan perintah presiden. Melainkan akibat desakan parpol yang menjadi induknya atau takut ancaman PAW (pergantian antar waktu). "Toh intinya sama, semua harus dikembalikan," tandasnya.
Secara umum, Partai Demokrat Jatim telah mengumpulkan semua anggota DPRD dari Partai Demokrat se-Jatim. Dalam kesempatan itu ada kesepakatan, semua rapelan TKI tetap harus dikembalikan karena ada perintah dari presiden dan PP 37/2006 yang menjadi dasar hukumnya tengah direvisi. "Soal kapan mau mengembalikan, kembali pada kelonggaran tadi," tegasnya.
Secara pribadi dia lebih sepakat, dewan harus mengembalikan rapelan tanpa banyak gembar gembor. Ringkasnya, makin cepat dikembalikan makin baik. "Yang penting jangan latah beropini, ngomong keluar mau mengembalikan, ternyata tak segera mengembalikan. Sama saja," pungkasnya.
Langkah anggota dewan yang tak segera mengembalikan rapelan TKI ini, disorot oleh Ketua Sindikat Aksi Tolak (Sikat) PP 37/2006 Sudarsono. Dia menilai, banyak parpol dan anggota dewan yang hanya beretorika mengembalikan rapelan, tapi nyatanya hanya tak kunjung mengembalikan.
"Alasan menunggu juklak atau juknis pengembalian rapelan itu alasan yang mengada-ada dan dibuat-buat. Kalau ada yang mengulur-ulur waktu hingga Desember 2007 dengan alasan kelonggaran, berarti sama saja dengan parpol yang menolak mengembalikan rapelan," tandasnya.
Plt Sekretaris DPRD Jember Bambang Hariono mengungkapkan, anggota dewan yang mengembalikan rapelan bertambah satu, yakni Moch Asir yang mencicil Rp 20 juta. "Sudah diserahkan pada sekwan pekan lalu, tapi sifatnya masih tetap titipan, bukan pengembalian," ungkapnya. (Radar Jember)
Selasa, Februari 13, 2007
Akibat Masa Tanam Mundur
Sementara H Kamil Gunawan, salah satu pedagang besar beras di Jember membantah kenaikan harga beras akibat ulah spekulan beras. Kenaikan harga beras itu disebabkan masa tanam padi mundur dari jadwal dan pengalihan stok beras ke Jakarta.
"Tudingan ulah spekulan itu muncul hanya karena pihak-pihak tertentu ingin memanfaatkan kondisi. Apalagi kenaikan harga beras itu tak merata, hanya pada beras berkualitas super," kata H Kamil Gunawan kepada Surya, Senin (12/2).
Menurut Kamil, biasanya bulan Oktober - November petani sudah mulai menanam, tetapi karena musim hujan datang terlambat di bulan Desember, maka petani masa tanamnya menyesuaikan.
"Seharusnya bulan Januari, petani sudah mulai panen. Tetapi berhubung hujan terlambat, maka saat ini petani baru menanam padi," ujarnya. Faktor lain yang berperan pada kenaikan harga beras yang tidak wajar ini akibat bencana banjir di Jakarta.
Dampak dari bencana itu mengakibatkan persediaan beras di daerah sebagian besar dialihkan distribusinya ke Jakarta. Karena tak mungkin beras di Jakarta yang sudah terendam air banjir digunakan untuk membantu korban bencana. Sehingga solusinya, untuk menggantinya diambilkan dari stok beras dari daerah.
Menurut Kamil, kenaikan beras ini diprediksi tidak akan bertahan lama. Sebab, petani sudah mulai menanam padi dan permintaan beras dari Jakarta tak mungkin sebesar pada awal-awal bencana. Sehingga bulan Maret - April mendatang, harga beras yang kini mencapai Rp 6.200/kg diperkirakan bakal turun sampai Rp 3.500 - Rp 4.000/kg.
Anggota Komisi B DPRD Jember, Rendra Wirawan, mengimbau para spekulan tidak bermain-main dengan harga beras. "Saya harap lebih memikirkan kepentingan orang banyak," ujar Rendra seusai melakukan inspeksi mendadak di Pasar Tanjung. (Surya)
"Tudingan ulah spekulan itu muncul hanya karena pihak-pihak tertentu ingin memanfaatkan kondisi. Apalagi kenaikan harga beras itu tak merata, hanya pada beras berkualitas super," kata H Kamil Gunawan kepada Surya, Senin (12/2).
Menurut Kamil, biasanya bulan Oktober - November petani sudah mulai menanam, tetapi karena musim hujan datang terlambat di bulan Desember, maka petani masa tanamnya menyesuaikan.
"Seharusnya bulan Januari, petani sudah mulai panen. Tetapi berhubung hujan terlambat, maka saat ini petani baru menanam padi," ujarnya. Faktor lain yang berperan pada kenaikan harga beras yang tidak wajar ini akibat bencana banjir di Jakarta.
Dampak dari bencana itu mengakibatkan persediaan beras di daerah sebagian besar dialihkan distribusinya ke Jakarta. Karena tak mungkin beras di Jakarta yang sudah terendam air banjir digunakan untuk membantu korban bencana. Sehingga solusinya, untuk menggantinya diambilkan dari stok beras dari daerah.
Menurut Kamil, kenaikan beras ini diprediksi tidak akan bertahan lama. Sebab, petani sudah mulai menanam padi dan permintaan beras dari Jakarta tak mungkin sebesar pada awal-awal bencana. Sehingga bulan Maret - April mendatang, harga beras yang kini mencapai Rp 6.200/kg diperkirakan bakal turun sampai Rp 3.500 - Rp 4.000/kg.
Anggota Komisi B DPRD Jember, Rendra Wirawan, mengimbau para spekulan tidak bermain-main dengan harga beras. "Saya harap lebih memikirkan kepentingan orang banyak," ujar Rendra seusai melakukan inspeksi mendadak di Pasar Tanjung. (Surya)
Selasa, Februari 06, 2007
Cuma Kembalikan Rp 90 Juta
JEMBER - Instruksi DPP Partai Amanat Nasional (PAN) agar dana rapelan tunjangan komunikasi intensif (TKI) dikembalikan, langsung direspons tiga kader PAN yang duduk di DPRD Jember. Hanya saja, dari total Rp Rp 189 juta dana TKI (sebelum dipotong pph) yang diterima tiga anggota dewan itu, baru Rp 90 juta yang dikembalikan.
Tiga anggota dewan yang mengembalikan rapelan itu masing-masing Abdul Ghafur, Rendra Wirawan, dan Dimyati. Rapelan yang diserahkan tiap anggota dewan Rp 30 juta. Rapelan itu diserahkan pada Nur Laiyliya, bendahara sekretariat dewan di lantai tiga gedung DPRD pukul 13.00.
Saat menyerahkan rapelan itu, mereka didampingi beberapa fungsionaris DPD PAN Jember. Ketiganya duduk bersamaan di depan meja Nur. Selanjutnya Nur membuatkan tanda terima penyerahan rapelan itu. Berturut-turut yang dilayani adalah Dimyati, Abdul Ghafur, dan Rendra Wirawan.
Menurut Abdul Ghafur, pengembalian rapelan itu dilakukan anggota dewan dari PAN menyusul adanya instruksi dari DPP PAN agar setiap anggota dewan dari PAN untuk mengembalikan rapelan. "DPD PAN Jember juga minta agar rapelan itu dikembalikan. Bagi yang tidak mau mengembalikan, akan di-recall," ujarnya kemarin.
Karena hukumnya wajib dikembalikan, kata dia, maka statusnya sama dengan utang. "Kalau terus diulur-ulur, makin memberatkan," katanya. Sebab itu, sebagai awalan, pihaknya mengembalikan rapelan sebesar Rp 30 juta. Sisanya akan diangsur hingga Desember 2007.
Dari hitungan Ghafur, untuk mengembalikan sisa rapelan itu, dia harus menyisihkan uang sebesar Rp 3,8 juta per bulan. Sebab itu, dia mengaku berat untuk mengembalikan rapelan tersebut karena sebagian uangnya sudah dipakai untuk operasional. Pria yang juga ketua Komisi A DPRD itu mengaku, sudah telanjur membuat janji dengan para pengurus cabang dan ranting untuk membuat berbagai kegiatan.
Salah satunya adalah membangun posko PAN yang dilengkapi dengan berbagai perangkat investigasi. "Nantinya juga ada orang yang digaji khusus untuk itu. Tapi karena TKI ditarik, mungkin akan ditinjau lagi," akunya.
Untuk menjalankan kegiatan politik, dia menghitung, sedikitnya dibutuhkan uang Rp 80 juta per tahun. Karena TKI diminta dikembalikan, dia terpaksa harus lebih selektif terhadap kegiatan dan proposal yang diajukan konstituen padanya.
Sedangkan Rendra Wirawan mengaku tidak keberatan mengembalikan rapelan tersebut. Setiap anggota dewan PAN terpaksa baru bisa mengembalikan Rp 30 juta karena sebagian lainnya telanjur dikeluarkan. "Sambil menunggu rezeki, sisanya nanti akan kami angsur. Toh yang kami kembalikan sudah lebih dari 50 persen dari jumlah yang kami terima," ungkapnya.
Sementara itu, Plt Sekretaris Dewan Bambang Hariono mengatakan, sekwan menerima kembali uang rapelan anggota dewan hanya dalam kapasitas menerima titipan. "Kami bukan menerima pengembalikan, tapi hanya menerima titipan. Karena mekanisme pengembaliannya seperti apa, belum ada," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jember, Hari Soemarsono juga mengembalikan rapelan TKI yang ditipkan ke sekwan DPRD Jember. (Radar Jember)
Tiga anggota dewan yang mengembalikan rapelan itu masing-masing Abdul Ghafur, Rendra Wirawan, dan Dimyati. Rapelan yang diserahkan tiap anggota dewan Rp 30 juta. Rapelan itu diserahkan pada Nur Laiyliya, bendahara sekretariat dewan di lantai tiga gedung DPRD pukul 13.00.
Saat menyerahkan rapelan itu, mereka didampingi beberapa fungsionaris DPD PAN Jember. Ketiganya duduk bersamaan di depan meja Nur. Selanjutnya Nur membuatkan tanda terima penyerahan rapelan itu. Berturut-turut yang dilayani adalah Dimyati, Abdul Ghafur, dan Rendra Wirawan.
Menurut Abdul Ghafur, pengembalian rapelan itu dilakukan anggota dewan dari PAN menyusul adanya instruksi dari DPP PAN agar setiap anggota dewan dari PAN untuk mengembalikan rapelan. "DPD PAN Jember juga minta agar rapelan itu dikembalikan. Bagi yang tidak mau mengembalikan, akan di-recall," ujarnya kemarin.
Karena hukumnya wajib dikembalikan, kata dia, maka statusnya sama dengan utang. "Kalau terus diulur-ulur, makin memberatkan," katanya. Sebab itu, sebagai awalan, pihaknya mengembalikan rapelan sebesar Rp 30 juta. Sisanya akan diangsur hingga Desember 2007.
Dari hitungan Ghafur, untuk mengembalikan sisa rapelan itu, dia harus menyisihkan uang sebesar Rp 3,8 juta per bulan. Sebab itu, dia mengaku berat untuk mengembalikan rapelan tersebut karena sebagian uangnya sudah dipakai untuk operasional. Pria yang juga ketua Komisi A DPRD itu mengaku, sudah telanjur membuat janji dengan para pengurus cabang dan ranting untuk membuat berbagai kegiatan.
Salah satunya adalah membangun posko PAN yang dilengkapi dengan berbagai perangkat investigasi. "Nantinya juga ada orang yang digaji khusus untuk itu. Tapi karena TKI ditarik, mungkin akan ditinjau lagi," akunya.
Untuk menjalankan kegiatan politik, dia menghitung, sedikitnya dibutuhkan uang Rp 80 juta per tahun. Karena TKI diminta dikembalikan, dia terpaksa harus lebih selektif terhadap kegiatan dan proposal yang diajukan konstituen padanya.
Sedangkan Rendra Wirawan mengaku tidak keberatan mengembalikan rapelan tersebut. Setiap anggota dewan PAN terpaksa baru bisa mengembalikan Rp 30 juta karena sebagian lainnya telanjur dikeluarkan. "Sambil menunggu rezeki, sisanya nanti akan kami angsur. Toh yang kami kembalikan sudah lebih dari 50 persen dari jumlah yang kami terima," ungkapnya.
Sementara itu, Plt Sekretaris Dewan Bambang Hariono mengatakan, sekwan menerima kembali uang rapelan anggota dewan hanya dalam kapasitas menerima titipan. "Kami bukan menerima pengembalikan, tapi hanya menerima titipan. Karena mekanisme pengembaliannya seperti apa, belum ada," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jember, Hari Soemarsono juga mengembalikan rapelan TKI yang ditipkan ke sekwan DPRD Jember. (Radar Jember)
Kamis, Februari 01, 2007
Golkar Tolak Kembalikan Rapelan
JEMBER - Pengumuman revisi PP 37/2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memantik kontroversi di kalangan anggota DPRD Jember. Kalangan dewan terbelah dalam tiga kubu, yakni kubu yang menolak mengembalikan rapelan tunjangan komunikasi intensif (TKI), kubu yang menerima pengembalian rapelan dan kubu yang memilih menunggu perkembangan alias wait and see.
Kubu yang jelas-jelas menolak mengembalikan rapelan TKI adalah Partai Golkar. Ketua DPD Partai Golkar Jember yang juga anggota Fraksi Partai Golkar Yantit Budi Hartono menegaskan, dirinya tidak akan mengembalikan rapelan TKI. "Dari PP 37 itu apa yang salah? Wong itu sudah benar. Apa perlu masyarakat saya kumpulkan lalu saya mintai tanda tangan dan kuitansi," ujar Yantit di gedung dewan kemarin.
Dia menilai, pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan aturan yang dibikinnya sendiri. Jika aturan yang telah dijalankan mudah diubah karena adanya tentangan dari sebagian pihak, berarti pemerintah tidak tegas untuk menegakkan aturan. "Wong aturan itu sudah disepakatai bersama, apalagi sudah diumumkan," katanya.
Bahkan, Yantit tak ragu-ragu mengajak anggota dewan yang lain untuk menolak mengembalikan rapelan TKI tersebut. "Aturannya sudah ada, dananya juga sudah dicairan. Kalau digunakan untuk serap aspirasi, peruntukannya benar, apakah anggota dewan ini mau dibuat babak belur?" cetusnya dengan nada tanya.
Apakah sikapnya ini harus diikuti oleh anggota Fraksi Partai Golkar yang lain? Dengan diplomatis Yantit menjawab, sikap Partai Golkar Jember sejak awal adalah menerima rapelan TKI itu yang sepenuhnya digunakan untuk membangun komunikasi dengan rakyat melalui berbagai pertemuan untuk menjaring aspirasi. "Ini sikap Partai Golkar sejak awal dan harus komitmen," tegasnya.
Sedangkan kubu anggota dewan yang pasrah dengan kebijakan pemerintah pusat, diantaranya diwakili Saptono Yusuf, Ketua Fraksi Demokrat Amanat Bangsa yang juga fungsionaris Partai Demokrat Jember. Menurut dia, semua penghasilan dan tunjang dewan diatur dengan aturan. "Kalau PP yang mengatur tunjangan dewan direvisi, dewan harus taat. Tidak ada alasan bagi dewan untuk menolak kembalikan rapelan," tuturnya.
Dia berharap agar rekan-rekannya sesama anggota dewan tidak memaknai sepotong-sepotong. Pemerintah sudah bersikap bijaksana dengan memberi tenggang waktu kepada anggota dewan sampai Desember 2007 untuk mengembalikan rapelan TKI dan operasional yang terlanjur diterima. "Apalagi nanti masih ada PP pengganti yang baru," tandas anggota dewan dari daerah pemilihan Jember IV ini.
Disinggung apakah perintah mengembalikan rapelan itu memberatkan dewan, Saptono menilai relatif. "Kalau dibilang memberatkan ya memberatkan," jawabnya. Tapi, dengan adanya toleransi untuk mengembalikan rapelan TKI ke kas daerah hingga akhir 2007, kebijakan itu tidak perlu terlalu dipersoalkan.
Anggota dewan lain yang juga pasrah terhadap perintah mengembalikan rapelan itu adalah Rendra Wirawan, anggota dewan dari PAN. Secara pribadi, dia akan menaati perintah itu. "Sedangkan FDAB sendiri akan mengambil langkah sesuai kebijakan pemerintah," ungkapnya.
Hal yang sama juga disampaikan Ketua DPC PKB Jember Miftahul Ulum yang juga ketua Komisi D DPRD Jember. Pada dasarnya, PKB akan mengikuti aturan main yang dikeluarkan pemerintah. Dia juga menegaskan, sejak rapelan TKI dicairkan, partainya tidak pernah menerima aliran dana itu dari kadernya yang duduk di dewan. "Partai hanya menerima iuran rutin bulanan yang memang diambil dari gaji rutin anggota dewan setiap bulan," tegasnya.
Dan kubu ketiga adalah yang memilih wait and see. Kubu ini salah satunya diwakili oleh Ketua DPRD Jember HM Madini Farouq. Meski pemerintah sudah mengumumkan akan merevisi PP 37/2006 dan meminta rapelan TKI dikembalikan ke kas daerah, Mamak -sapaan akrabnya- akan menunggu PP penggantinya. "Kami menunggu PP penggantinya. Saya kan baru baca itu tadi pagi," ujarnya.
Jika nanti PP pengganti turun dan tetap memerintahkan untuk mengembalikan rapelan, pihaknya akan mengembalikannya ke kas daerah. Apalagi anggota dewan masih memiliki waktu untuk mengembalikan rapelan itu hingga Desember 2007.
Sementara itu, menyikapi pro kontra PP 37/2006, Pemkab Jember bersikap normatif. Melalui Wakil Ketua Tim Anggaran Soeprapto, pihaknya berpedoman pada hasil evaluasi APBD 2007 yang dikeluarkan oleh Pemprov Jatim. "Dalam evaluasi, tidak dipersoalkan. Maka kami jalan terus dengan mengacu pada hasil evaluasi pemprov. Evaluasi itu keluar sebelum pemerintah mengumumkan revisi PP 37/2006," ujarnya.
Prinsipnya, Pemkab Jember telah menganggarkan TKI dan operasional pimpinan dewan itu sesuai dengan kewajaran dan kemampuan daerah. Apalagi PP pengganti belum diterima pemkab. "Kami tertib administrasi saja. Posisi kami bukan dalam kapasitas untuk menarik kembali rapelan itu atau tidak," tukas pejabat yang juga kepala Bappekab Jember ini. (Radar Jember)
Kubu yang jelas-jelas menolak mengembalikan rapelan TKI adalah Partai Golkar. Ketua DPD Partai Golkar Jember yang juga anggota Fraksi Partai Golkar Yantit Budi Hartono menegaskan, dirinya tidak akan mengembalikan rapelan TKI. "Dari PP 37 itu apa yang salah? Wong itu sudah benar. Apa perlu masyarakat saya kumpulkan lalu saya mintai tanda tangan dan kuitansi," ujar Yantit di gedung dewan kemarin.
Dia menilai, pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan aturan yang dibikinnya sendiri. Jika aturan yang telah dijalankan mudah diubah karena adanya tentangan dari sebagian pihak, berarti pemerintah tidak tegas untuk menegakkan aturan. "Wong aturan itu sudah disepakatai bersama, apalagi sudah diumumkan," katanya.
Bahkan, Yantit tak ragu-ragu mengajak anggota dewan yang lain untuk menolak mengembalikan rapelan TKI tersebut. "Aturannya sudah ada, dananya juga sudah dicairan. Kalau digunakan untuk serap aspirasi, peruntukannya benar, apakah anggota dewan ini mau dibuat babak belur?" cetusnya dengan nada tanya.
Apakah sikapnya ini harus diikuti oleh anggota Fraksi Partai Golkar yang lain? Dengan diplomatis Yantit menjawab, sikap Partai Golkar Jember sejak awal adalah menerima rapelan TKI itu yang sepenuhnya digunakan untuk membangun komunikasi dengan rakyat melalui berbagai pertemuan untuk menjaring aspirasi. "Ini sikap Partai Golkar sejak awal dan harus komitmen," tegasnya.
Sedangkan kubu anggota dewan yang pasrah dengan kebijakan pemerintah pusat, diantaranya diwakili Saptono Yusuf, Ketua Fraksi Demokrat Amanat Bangsa yang juga fungsionaris Partai Demokrat Jember. Menurut dia, semua penghasilan dan tunjang dewan diatur dengan aturan. "Kalau PP yang mengatur tunjangan dewan direvisi, dewan harus taat. Tidak ada alasan bagi dewan untuk menolak kembalikan rapelan," tuturnya.
Dia berharap agar rekan-rekannya sesama anggota dewan tidak memaknai sepotong-sepotong. Pemerintah sudah bersikap bijaksana dengan memberi tenggang waktu kepada anggota dewan sampai Desember 2007 untuk mengembalikan rapelan TKI dan operasional yang terlanjur diterima. "Apalagi nanti masih ada PP pengganti yang baru," tandas anggota dewan dari daerah pemilihan Jember IV ini.
Disinggung apakah perintah mengembalikan rapelan itu memberatkan dewan, Saptono menilai relatif. "Kalau dibilang memberatkan ya memberatkan," jawabnya. Tapi, dengan adanya toleransi untuk mengembalikan rapelan TKI ke kas daerah hingga akhir 2007, kebijakan itu tidak perlu terlalu dipersoalkan.
Anggota dewan lain yang juga pasrah terhadap perintah mengembalikan rapelan itu adalah Rendra Wirawan, anggota dewan dari PAN. Secara pribadi, dia akan menaati perintah itu. "Sedangkan FDAB sendiri akan mengambil langkah sesuai kebijakan pemerintah," ungkapnya.
Hal yang sama juga disampaikan Ketua DPC PKB Jember Miftahul Ulum yang juga ketua Komisi D DPRD Jember. Pada dasarnya, PKB akan mengikuti aturan main yang dikeluarkan pemerintah. Dia juga menegaskan, sejak rapelan TKI dicairkan, partainya tidak pernah menerima aliran dana itu dari kadernya yang duduk di dewan. "Partai hanya menerima iuran rutin bulanan yang memang diambil dari gaji rutin anggota dewan setiap bulan," tegasnya.
Dan kubu ketiga adalah yang memilih wait and see. Kubu ini salah satunya diwakili oleh Ketua DPRD Jember HM Madini Farouq. Meski pemerintah sudah mengumumkan akan merevisi PP 37/2006 dan meminta rapelan TKI dikembalikan ke kas daerah, Mamak -sapaan akrabnya- akan menunggu PP penggantinya. "Kami menunggu PP penggantinya. Saya kan baru baca itu tadi pagi," ujarnya.
Jika nanti PP pengganti turun dan tetap memerintahkan untuk mengembalikan rapelan, pihaknya akan mengembalikannya ke kas daerah. Apalagi anggota dewan masih memiliki waktu untuk mengembalikan rapelan itu hingga Desember 2007.
Sementara itu, menyikapi pro kontra PP 37/2006, Pemkab Jember bersikap normatif. Melalui Wakil Ketua Tim Anggaran Soeprapto, pihaknya berpedoman pada hasil evaluasi APBD 2007 yang dikeluarkan oleh Pemprov Jatim. "Dalam evaluasi, tidak dipersoalkan. Maka kami jalan terus dengan mengacu pada hasil evaluasi pemprov. Evaluasi itu keluar sebelum pemerintah mengumumkan revisi PP 37/2006," ujarnya.
Prinsipnya, Pemkab Jember telah menganggarkan TKI dan operasional pimpinan dewan itu sesuai dengan kewajaran dan kemampuan daerah. Apalagi PP pengganti belum diterima pemkab. "Kami tertib administrasi saja. Posisi kami bukan dalam kapasitas untuk menarik kembali rapelan itu atau tidak," tukas pejabat yang juga kepala Bappekab Jember ini. (Radar Jember)
Langganan:
Postingan (Atom)