Caleg Masuk Sekolah
sumber: beritajatim.com
Jember - Calon anggota legislatif pemilu 2009 mulai merambah sekolah di Jember. Status alumnus dijadikan alasan.
Di wall climbing (dinding panjat) SMU Negeri 1 Arjasa, foto besar Rendra Wirawan terpampang dengan latar belakang warna biru. Rendra adalah kader Partai Amanat Nasional yang saat ini menjadi anggota DPRD Jember. Dalam pemilu 2009, dia mencalonkan diri untuk DPRD Jawa Timur.
Kepada beritajatim.com, Rendra menolak jika pemasangan gambar dirinya adalah bagian dari kampanye di dalam sekolah. "Saya ini mantan pengurus pecinta alam Hegaswana. Wall climbing itu bentuk apresiasi adik-adik saya. Mungkin saya dianggap representasi alumni," katanya.
Lagipula, lanjut Rendra, tidak ada kata-kata dalam gambar itu yang berisi anjuran agar memilih dirinya dalam pemilu 2009. "Di situ saya atas nama anggota DPRD Jember, bukan caleg," katanya.
Rendra menegaskan, dirinya tidak memberikan modal kepada siswa-siswa SMUN 1 Arjasa untuk memasang gambar tersebut. Namun ia membenarkan jika setiap tiga bulan sekali melakukan kegiatan yang disebutnya pembinaan. Tujuannya, agar hubungan antara alumnus dengan siswa sekolah itu tak putus.
Rendra menyatakan, apa yang dilakukannya bukanlah politisasi dunia pendidikan. "Justru dengan saya tampil di sana (wall climbing), mereka (para siswa) bangga dengan hasil demokrasi di Indonesia," katanya. [wir]
Rabu, Desember 31, 2008
Minggu, Desember 14, 2008
4 Tahun Laptop DPRD: Rusak dan Tak Berguna
sumber: beritajatim.com
Jember - Menjelang berakhirnya masa jabatan DPRD Jember 2004 - 2009, saatnya kita mengikuti petuah Tukul: "Kembali ke laptop." Ternyata laptop anggota Dewan yang berasal dari APBD 2005 tak semuanya digunakan sesuai fungsi.
Bukan itu saja. Bahkan, ada laptop yang sudah rusak, atau bahkan tak ketahuan ke mana rimbanya. Anggota DPRD Jember yang terkena pergantian antar waktu, Mochammad Saleh, membenarkan bahwa komputer jinjing bermerek Acer dengan harga Rp 12 juta per unit itu tak digunakan dengan maksimal oleh anggota perlemen.
"Banyak yang sudah tidak ada. Ada yang dijual, padahal itu barang inventaris. Ada juga yang rusak," kata Saleh.
Saleh tak mau menyebut laptop siapa yang sudah dijual. "Kalau punya saya rusak sejak setahun lalu. Monitor LCD-nya yang rusak. Muncul garis-garis kecil yang rapat. Sudah tak bisa terbaca," katanya.
Selama ini, Saleh menggunakan laptop untuk menyimpan data-data, dan tidak digunakan untuk keperluan berselancar di dunia maya (internet). "Memang bantuan laptop tak efektif, karena banyak yang tidak paham komputer," katanya.
Ketua Komisi A Abdul Ghafur mengatakan, sebagian legislator sudah menggunakan laptop untuk kepentingan menyimpan data atau internet. "Tapi yang belum maksimal, ya nganggur di rumah atau dipakai sama saudara," katanya.
Pengadaan laptop tahun 2005 sebenarnya sudah melalui perdebatan panjang. Menurut Ghafur, impian waktu itu, anggota Dewan dibekali pendidikan singkat tentang cara menggunakan komputer jinjing. Pelatihan perlu, karena kemampuan anggota Dewan memahami teknologi berbeda-beda.
"Tapi ternyata kami tidak dibekali ilmu yang memadai. Kalau bicara persentase, mungkin 70 persen laptop yang dipegang anggota Dewan tak operasional," kata Ghafur.
Ghafur sendiri tidak menggunakan laptop itu untuk kepentingan mengakses intenet. Ia sebatas menggunakannya untuk menyimpan data. "Saya sih maunya yang ditonjolkan e-government-nya. Jadi setelah diadakan laptop, ada sambungan internet di DPRD Jember. Tapi (keinginan itu) dibilang terlalu canggih," katanya.
Wahid Zaini dari Fraksi Kebangkitan Bangsa menjelaskan, anggota Dewan tak harus menggunakan sendiri laptop yang sudah ada. "Politisi kan punya asisten. Biasanya asisten itu yang menggunakan," katanya.
Sucipto dari Fraksi Partai Golkar menolak mengungkapkan, siapa saja anggota Dewan yang tidak menggunakan laptop semestinya. "Saya kira publik sudah tahu siapa Si A, Si B. Kalau masuk saja tidak pernah, kegiatan tidak pernah ikut, saya yakin laptop-nya tidak digunakan semestinya," katanya, menyindir sejawatnya di parlemen.
Sementara, anggota Komisi B Rendra Wirawan justru berang saat laptop di DPRD Jember dipersoalkan. Padahal, selama ini ia justru dikenal sebagai anggota Dewan muda yang melek teknologi, dan menggunakan laptop untuk mengakses internet. Rendra juga satu dari dua anggota DPRD Jember yang punya blog pribadi.
"Jangan cuma Dewan dong. Itu eksekutif melakukan pengadaan laptop setiap tahun juga dipersoalkan. Kalau saya jelas laptop bisa dipertanggungjawabkan. Ini untuk meng-up grade aturan-aturan baru yang sangat banyak," kata Rendra. [wir/ted]
sumber: beritajatim.com
Jember - Menjelang berakhirnya masa jabatan DPRD Jember 2004 - 2009, saatnya kita mengikuti petuah Tukul: "Kembali ke laptop." Ternyata laptop anggota Dewan yang berasal dari APBD 2005 tak semuanya digunakan sesuai fungsi.
Bukan itu saja. Bahkan, ada laptop yang sudah rusak, atau bahkan tak ketahuan ke mana rimbanya. Anggota DPRD Jember yang terkena pergantian antar waktu, Mochammad Saleh, membenarkan bahwa komputer jinjing bermerek Acer dengan harga Rp 12 juta per unit itu tak digunakan dengan maksimal oleh anggota perlemen.
"Banyak yang sudah tidak ada. Ada yang dijual, padahal itu barang inventaris. Ada juga yang rusak," kata Saleh.
Saleh tak mau menyebut laptop siapa yang sudah dijual. "Kalau punya saya rusak sejak setahun lalu. Monitor LCD-nya yang rusak. Muncul garis-garis kecil yang rapat. Sudah tak bisa terbaca," katanya.
Selama ini, Saleh menggunakan laptop untuk menyimpan data-data, dan tidak digunakan untuk keperluan berselancar di dunia maya (internet). "Memang bantuan laptop tak efektif, karena banyak yang tidak paham komputer," katanya.
Ketua Komisi A Abdul Ghafur mengatakan, sebagian legislator sudah menggunakan laptop untuk kepentingan menyimpan data atau internet. "Tapi yang belum maksimal, ya nganggur di rumah atau dipakai sama saudara," katanya.
Pengadaan laptop tahun 2005 sebenarnya sudah melalui perdebatan panjang. Menurut Ghafur, impian waktu itu, anggota Dewan dibekali pendidikan singkat tentang cara menggunakan komputer jinjing. Pelatihan perlu, karena kemampuan anggota Dewan memahami teknologi berbeda-beda.
"Tapi ternyata kami tidak dibekali ilmu yang memadai. Kalau bicara persentase, mungkin 70 persen laptop yang dipegang anggota Dewan tak operasional," kata Ghafur.
Ghafur sendiri tidak menggunakan laptop itu untuk kepentingan mengakses intenet. Ia sebatas menggunakannya untuk menyimpan data. "Saya sih maunya yang ditonjolkan e-government-nya. Jadi setelah diadakan laptop, ada sambungan internet di DPRD Jember. Tapi (keinginan itu) dibilang terlalu canggih," katanya.
Wahid Zaini dari Fraksi Kebangkitan Bangsa menjelaskan, anggota Dewan tak harus menggunakan sendiri laptop yang sudah ada. "Politisi kan punya asisten. Biasanya asisten itu yang menggunakan," katanya.
Sucipto dari Fraksi Partai Golkar menolak mengungkapkan, siapa saja anggota Dewan yang tidak menggunakan laptop semestinya. "Saya kira publik sudah tahu siapa Si A, Si B. Kalau masuk saja tidak pernah, kegiatan tidak pernah ikut, saya yakin laptop-nya tidak digunakan semestinya," katanya, menyindir sejawatnya di parlemen.
Sementara, anggota Komisi B Rendra Wirawan justru berang saat laptop di DPRD Jember dipersoalkan. Padahal, selama ini ia justru dikenal sebagai anggota Dewan muda yang melek teknologi, dan menggunakan laptop untuk mengakses internet. Rendra juga satu dari dua anggota DPRD Jember yang punya blog pribadi.
"Jangan cuma Dewan dong. Itu eksekutif melakukan pengadaan laptop setiap tahun juga dipersoalkan. Kalau saya jelas laptop bisa dipertanggungjawabkan. Ini untuk meng-up grade aturan-aturan baru yang sangat banyak," kata Rendra. [wir/ted]
Jumat, Desember 05, 2008
DPRD-Pemkab Beda Pendapat Soal Kios Pupuk Ilegal
sumber: beritajatim.com
Jember - Komisi B Bidang Ekonomi dan Pertanian DPRD Jember siap melaporkan langsung adanya kios pupuk ilegal ke kepolisian, jika memang masyarakat tak berani.
Anggota Komisi B Rendra Wirawan mengatakan, ada laporan yang masuk adanya kios tak resmi yang menjual pupuk bersubsidi. Setidaknya, informasi yang masuk ke Komisi B, ada enam titik, termasuk di kecamatan Tanggul, Silo, dan Gumukmas.
Menurut Rendra, masyarakat tidak melaporkan ke pihak berwajib, karena penanganannya dianggap kurang serius. "Kita tegaskan dalam hearing Kamis malam (4/12/2008), kita siap ambil alih, lapor ke polisi. Asalkan ada bukti kongret," katanya, Jumat (5/12/2008).
Komisi B juga merekomendasikan agar Perhutani dan distributor dipertemukan. "Banyak pupuk yang masuk ke hutan. Padahal kan tidak boleh," kata Rendra.
Sementara, Ketua Tim Pengawasan dan Pengendalian Pupuk Jember Edi Budi Susilo membantah adanya kios ilegal. "Tidak ada bukti kongret," katanya.
Edi membenarkan, bahwa sempat terlontar dari petugas penyuluh lapang dalam rapat Kamis malam (4/12/2008), adanya kios ilegal. "Tapi saya minta agar jangan bicara asumsi, tapi bukti otentik. Kalau hanya asumsi, saya tidak akan mau menindaklanjuti," katanya.
Jika memang sudah ada pelaporan ke kepolisian, Edi meminta bukti. Ia percaya polisi saat ini sudah sangat tegas dalam menangani penyimpangan tata niaga pupuk bersubsidi.
Edi tetap bersikukuh kelangkaan pupuk bersubsidi terjadi, karena kurangnya pasokan untuk petani di Jember dibandingkan kebutuhan. Solusinya, Pemkab Jember akan mengirim permohonan tambahan kuota pupuk. "Kita juga mengintensifkan pemakaian pupuk berimbang," katanya. [wir/ted]
sumber: beritajatim.com
Jember - Komisi B Bidang Ekonomi dan Pertanian DPRD Jember siap melaporkan langsung adanya kios pupuk ilegal ke kepolisian, jika memang masyarakat tak berani.
Anggota Komisi B Rendra Wirawan mengatakan, ada laporan yang masuk adanya kios tak resmi yang menjual pupuk bersubsidi. Setidaknya, informasi yang masuk ke Komisi B, ada enam titik, termasuk di kecamatan Tanggul, Silo, dan Gumukmas.
Menurut Rendra, masyarakat tidak melaporkan ke pihak berwajib, karena penanganannya dianggap kurang serius. "Kita tegaskan dalam hearing Kamis malam (4/12/2008), kita siap ambil alih, lapor ke polisi. Asalkan ada bukti kongret," katanya, Jumat (5/12/2008).
Komisi B juga merekomendasikan agar Perhutani dan distributor dipertemukan. "Banyak pupuk yang masuk ke hutan. Padahal kan tidak boleh," kata Rendra.
Sementara, Ketua Tim Pengawasan dan Pengendalian Pupuk Jember Edi Budi Susilo membantah adanya kios ilegal. "Tidak ada bukti kongret," katanya.
Edi membenarkan, bahwa sempat terlontar dari petugas penyuluh lapang dalam rapat Kamis malam (4/12/2008), adanya kios ilegal. "Tapi saya minta agar jangan bicara asumsi, tapi bukti otentik. Kalau hanya asumsi, saya tidak akan mau menindaklanjuti," katanya.
Jika memang sudah ada pelaporan ke kepolisian, Edi meminta bukti. Ia percaya polisi saat ini sudah sangat tegas dalam menangani penyimpangan tata niaga pupuk bersubsidi.
Edi tetap bersikukuh kelangkaan pupuk bersubsidi terjadi, karena kurangnya pasokan untuk petani di Jember dibandingkan kebutuhan. Solusinya, Pemkab Jember akan mengirim permohonan tambahan kuota pupuk. "Kita juga mengintensifkan pemakaian pupuk berimbang," katanya. [wir/ted]
Rabu, Desember 03, 2008
Masyarakat dan Politisi Saling Tuding
sumber: beritajatim.com
Jember - Masyarakat dan elite politik masih belum satu suara dalam memandang pemilu sebagai proses demokrasi. Dua belah pihak masih saling menyalahkan, terkait dengan semakin pragmatisnya masyarakat.
Politisi mengeluh, ongkos politik yang dikeluarkan dalam pemilu semakin besar. Masyarakat dianggap semakin pragmatis, dan berbeda dengan pemilu masa awal reformasi.
"Dibanding tahun 2004 memang lebih mahal saat ini. Inflasi dan pola pikir masyarakat berpengaruh. Anggota DPRD dianggap banyak uang sehingga memunculkan pola pikir pragmatis, sementara keperluan pembinaan konstituen mendesak," kata Rendra Wirawan, calon legislator DPRD Jawa Timur dari Partai Amanat Nasional.
Namun, peneliti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, Himawan Bayu Patriadi, tak setuju jika masyarakat semata disalahkan. Sikap pragmatis masyarakat muncul karena perilaku elite politik setelah terpilih sebagai legislator.
"Tahun 1999, rakyat tidak minta duit dengan harapan ada perubahan. Mereka mengeluarkan uang sendiri untuk membuat baliho atau spanduk partai. Tapi setelah terpilih, politisi tidak menyapa bahkan mengalami mobilitas ekonomi," kata Bayu.
Akhirnya, sambung doktor politik lulusan Flinders University Australia ini, "Ada persepsi masyarakat, politisi mendapatkan tiket gratis dari mereka. Tahun 2004, masyarakat tak mau kecolongan lagi. Ini membuktikan bahwa masyarakat juga cerdas." ujarnya.
Ini yang membedakan pemilu di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Di AS, warga mengeluarkan sebagian uangnya untuk membiayai politisi agar menang. "Di Amerika, pemilu adalah kontestasi ide dan solusi bagi negara. Di Indonesia, pemilu adalah kontribusi riil yang menyangkut hajat hidup sehari-hari," kata Bayu.
Deideologisasi terjadi, sehingga ideologi tak sekuat tahun 1955. Partai di Indonesia berusaha mengedepankan program. Namun perdebatan yang terjadi ternyata bukan masalah substantif, tapi masalah praktis, dan inilah yang membuat masyarakat ikut menjadi pragmatis. [wir/ted]
sumber: beritajatim.com
Jember - Masyarakat dan elite politik masih belum satu suara dalam memandang pemilu sebagai proses demokrasi. Dua belah pihak masih saling menyalahkan, terkait dengan semakin pragmatisnya masyarakat.
Politisi mengeluh, ongkos politik yang dikeluarkan dalam pemilu semakin besar. Masyarakat dianggap semakin pragmatis, dan berbeda dengan pemilu masa awal reformasi.
"Dibanding tahun 2004 memang lebih mahal saat ini. Inflasi dan pola pikir masyarakat berpengaruh. Anggota DPRD dianggap banyak uang sehingga memunculkan pola pikir pragmatis, sementara keperluan pembinaan konstituen mendesak," kata Rendra Wirawan, calon legislator DPRD Jawa Timur dari Partai Amanat Nasional.
Namun, peneliti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, Himawan Bayu Patriadi, tak setuju jika masyarakat semata disalahkan. Sikap pragmatis masyarakat muncul karena perilaku elite politik setelah terpilih sebagai legislator.
"Tahun 1999, rakyat tidak minta duit dengan harapan ada perubahan. Mereka mengeluarkan uang sendiri untuk membuat baliho atau spanduk partai. Tapi setelah terpilih, politisi tidak menyapa bahkan mengalami mobilitas ekonomi," kata Bayu.
Akhirnya, sambung doktor politik lulusan Flinders University Australia ini, "Ada persepsi masyarakat, politisi mendapatkan tiket gratis dari mereka. Tahun 2004, masyarakat tak mau kecolongan lagi. Ini membuktikan bahwa masyarakat juga cerdas." ujarnya.
Ini yang membedakan pemilu di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Di AS, warga mengeluarkan sebagian uangnya untuk membiayai politisi agar menang. "Di Amerika, pemilu adalah kontestasi ide dan solusi bagi negara. Di Indonesia, pemilu adalah kontribusi riil yang menyangkut hajat hidup sehari-hari," kata Bayu.
Deideologisasi terjadi, sehingga ideologi tak sekuat tahun 1955. Partai di Indonesia berusaha mengedepankan program. Namun perdebatan yang terjadi ternyata bukan masalah substantif, tapi masalah praktis, dan inilah yang membuat masyarakat ikut menjadi pragmatis. [wir/ted]
Langganan:
Postingan (Atom)