Minggu, September 07, 2008

Mahalnya Jadi Bacaleg
Gali Lubang Tutup Lubang Versi Legislatif
sumber: beritajatim.com

Jember - Jadi anggota legislatif tidak murah. Ongkosnya bisa puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk pencalonan DPRD kabupaten/kota dan propinsi pada pemilu 2009. Maka, para calon legislator harus putar untuk 'gali lubang tutup lubang'.

Setiap caleg memiliki besar pengeluaran anggaran yang tak sama. Semua tergantung tingkat kebutuhan dan luasan cakupan ekspansi politik yang mereka lakukan. Rendra Wirawan, caleg DPRD Jawa Timur dari Partai Amanat Nasional, memperkirakan hingga jadi bakal dibutuhkan duit Rp 400 juta - 500 juta. "Saya untuk proses awal pencalegan saja sudah habis Rp 50 juta," katanya.

Rendra adalah pengusaha muda bisnis makanan tradisional Jember. Saat ini, ia duduk sebagai anggota DPRD Jember. Pada pemilu mendatang, rencananya ia akan bertarung di daerah pemilihan Jember - Lumajang.

Untuk apa saja duit sebanyak itu? Rendra mengatakan, untuk pembuat atribut, sosialisasi, biaya perjalanan mengurus pencalonan Jember - Surabaya, dan biaya pertemuan dan rapat dengan struktur partai.

"Dibanding tahun 2004 memang lebih mahal saat ini. Inflasi dan pola pikir masyarakat berpengaruh. Anggota DPRD dianggap banyak uang sehingga memunculkan pola pikir pragmatis, sementara keperluan pembinaan konstituen mendesak," kata Rendra.

Pengaruh perubahan pola pikir masyarakat dibenarkan Hawari Hamim, calon legislator yang dipasang oleh Partai Kebangkitan Nasional Ulama. Pendekatan terhadap konstituen memang bisa secara idealis dan pragmatis. Ia sendiri sebisa mungkin menawarkan program kerja yang memikat masyarakat.

Namun, Hawari mengaku tak menghabiskan uang sebanyak Rendra. Jika mengacu pengalaman pemilu 2004, duit yang habis paling tidak Rp 50 juta.

Prajitno dari Partai Persatuan Pembangunan mengatakan, tahun 2004 menghabiskan duit kurang lebih Rp 90 juta. Saat ini, angka itu bisa naik Rp menjadi sedikitnya Rp 100 juta.

Besar kecilnya nominal anggaran pencalonan juga tergantung nomor urut dalam daerah pemilihan. Nomor urut pertama yang biasa disebut calon jadi, menanggung dana untuk keperluan kampanye partai. Bahkan, anggaran untuk pengerahan massa. Ini merupakan kompensasi bagi nomor bagus yang diperoleh.

Dengan sistem pemilu di Indonesia saat ini, nomor urut pertama dalam sebuah partai sangat mungkin bakal lolos menjadi legislator. Pasalnya, masyarakat masih cenderung memilih tanda gambar partai daripada nama calon. Padahal, seorang calon baru bisa bersantai setelah memenuhi target minimal bilangan pembagi pemilih (BPP).

Lantas bagaimana para caleg ini membiayai kegiatan politik mereka? Belajar dari pemilu 2004, Prajitno akan membongkar simpanan pribadi. Kalau masih kurang, ia akan pinjam kanan-kiri, dari sanak kerabat atau dermawan yang dikenalnya.

"Kalau sudah jadi anggota Dewan, ya pinjam Bank Jatim (untuk mengembalikan utang-utang itu). Jaminannya SK anggota DPRD. Dulu saya pinjam Rp 50 juta dari Bank Jatim, dicicil empat tahun dengan jalan potong gaji," kata Prajitno.

Itu jika Prajitno sukses menjadi anggota DPRD sebagaimana periode 2004 - 2009. Kalau gagal? "Ya, terpaksa menjual barang yang ada di rumah. Entah mobil, atau apa. Tapi kondisi saat ini lebih mending daripada waktu saya nyalon tahun 2004," katanya.

Sementara Rendra Wirawan mengatakan, kocek pribadi sebagai sumber dana. Ia juga mendapat bantuan dari sanak kerabat. Ia berupaya tak akan meminjam duit dari bank.

Soal pendanaan, caleg baru dan belum berpengalaman seperti Abdul Kadar mengaku tak cemas. Caleg dari Partai Penegak Demokrasi Indonesia ini percaya reputasinya sebagai tokoh lembaga swadaya masyarakat bisa menarik minat rakyat, tanpa keluar banyak duit.

"Saya tidak menganggarkan detail untuk pencalegan. Ketika saya menyampaikan kepada basis pendukung bahwa saya oper persneling dari LSM ke partai, mereka siap menjadi relawan," kata Kadar. [wir/kun]

Tidak ada komentar: