Jember - Setelah sempat meresahkan petani, surat keputusan Camat Silo akhirnya dicabut. Surat itu sudah dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Demikian dijelaskan anggota Komisi B DPRD Jember Rendra Wirawan. Surat bernomor 521/33/480/436.543/2006 itu dikeluarkan 13 Oktober 2006 silam, tentang sistem penyaluran distribusi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dan perkebunan Silo.
Surat itu dinilai bermasalah, karena tidak memperbolehkan petani membeli pupuk langsung ke kios. Petani hanya boleh membeli pupuk via kelompok tani. Padahal, kelompok tani bukan representasi semua petani di Silo.
"Surat itu keluar saat terjadi kelangkaan pupuk di Jember. Saat itu harga pupuk jauh di atas harga eceran tertinggi," kata Rendra.
Saat itu, lanjut Rendra, ada sejumlah kelompok tani yang memanfaatkan surat itu untuk berutang kepada kios dengan sistem yarnen (baru membayar setelah panen padi). Sistem yarnen ini yang membuat pembayaran kios ke PT Kertopaten Kencana sebagai distributor pupuk di Silo tak lancar.
Tahun ini, jumlah pupuk yang digelontor ke Jember sudah lebih dari mencukupi. SK camat itu tak relevan. Namun, karena belum dicabut, SK itu masih meresahkan, karena petani kebingungan saat hendak membeli pupuk. Sementara respons Pupuk Kalimantan Timur terhadap persoalan itu lamban.
Surat dari PKT baru turun 25 April 2007. Di situ disebutkan bahwa rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) hanya dipakai untuk menghitung kebutuhan pupuk dan bukan sebagai dasar kios untuk melayani pupuk bersubsidi ke kelompok tani.
Jadi, pelarangan kios menjual langsung pupuk bersubsidi ke petani melanggar banyak aturan, seperti peraturan menteri pertanian dan peraturan gubernur Jawa Timur.
Pengecer resmi bertugas melakukan penjualan pupuk bersubsidi di wilayah tanggungjawabnya secara langsung hanya kepada petani dan atau kelompok tani.
Dalam surat itu, Kertopaten disarankan untuk berdiskusi dengan camat mengenai aturan camat yang telah beredar. Rapat yang diikuti Komisi B beberapa waktu lalu lantas digelar di kantor camat Silo dengan melibatkan semua komponen, termasuk Muspika, Kertopaten selaku distributor, petugas penyuluh lapang, pengecer pupuk, dan kepala desa.
Dari situ, menurut Rendra, diperoleh penjelasan bahwa camat tak bisa disalahkan sepenuhnya saat mengeluarkan aturan. Pasalnya, aturan yang menyiasati kelangkaan pupuk itu dirilis setelah camat bermusyawarah dengan petani, kelompok tani, dan kios pengecer pupuk. "Kami justru menyesalkan keterlambatan surat dari PKT," kata Rendra.
Setelah surat camat dicabut, Komisi B menginginkan agar ada evaluasi kembali terhadap distribusi pupuk kendati saat ini kondisi lebih kondusif. "Kami ini persebaran kios lebih merata di seluruh desa," kata Rendra.
Menurut Rendra, di lapangan banyak kios yang lokasinya sangat berdekatan. Ini tidak sesuai dengan kesepakatan. Kertopaten selaku distributor di Silo harus bisa menertibkan.
Juga harus ada penegasan kepada kios, agar tidak menjual pupuk kepada petani di luar Silo dan pihak non petani. "Di Silo ini rawan, karena oknum kios dikhawatirkan menjual ke pihak swasta (perkebunan-red)," kata Rendra. (www.beritajatim.com)
Minggu, Mei 20, 2007
Langganan:
Postingan (Atom)